
Ketika ditanya seperti apa bentukan rumah bagi seorang Alen, maka jawabannya — sampai saat ini — adalah Karisha atau yang biasa disapa dengan Caca. Rumah tidak selalu didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang sederhana maupun yang megah dengan perabotan di dalamnya. Tetapi rumah juga bisa didefinisikan sebagai sebuah tempat untuk pulang kala sekitar kita sedang menyakiti atau bahkan menolak keberadaan kita. Layaknya kertas yang kusut, begitu pula hati Alen.
Ia telah mencoba menjauh, mencari apa yang sebenarnya ia inginkan kala bibirnya berkata bahwa ia ingin menyembuhkan diri. Tapi nyatanya yang ia dapat adalah rasa sepi.
Sepi itu kian membelenggu, mengungkungnya tanpa ampun. Menyuarakan bahwa ia memang lebih baik untuk hidup sendiri. Semakin lama semakin meracuni hatinya. Membuat tubuhnya rentan dan kian rapuh.
Kesendirian itu menghancurkannya.
Hingga saat malam itu tiba, malam dimana seseorang melalui mimpinya berkata bahwa ia harus berani melangkah, mencari Karisha, orang yang selama ini selalu berusaha untuk ia lupakan presensinya.
Mengapa? Mengapa harus Karisha? Apakah orang dalam mimpinya berniat untuk membawa air mata lagi dalam hidupnya?
Hari, minggu, bahkan bulan dilalui. Keresahannya mengenai mimpi itu terus mengisi kepala. Kegundahan hati tak lepas dari kesehariannya. Hal itu pun membuatnya mengambil langkah. Bertemu dengannya. Karisha, gadis yang pernah dengan tulus mencintai dirinya tapi dengan serius dilukai oleh Alen.
Tapi, apakah itu yang sebenarnya ia cari? Ataukah sebenarnya rasa yang ia alami saat ini adalah upaya pengalihan dari ego yang menguasai? Sesungguhnya pun, Alen tak begitu tau, sebab dirinya sendiri sudah buta akan segala hal yang terjadi. Ia sudah terlalu bisa menutup mata akan segala hal. Dan hingga saat ini pun ia belum belajar bagaimana untuk keluar dari belenggu itu. Sehingga apa yang ia alami dalam mimpinya adalah satu-satunya yang ia jadikan pegangan untuk bisa menjawab akibat rasa sepinya saat ini.
Di sinilah ia, duduk di salah satu meja dalam sebuah cafe yang pernah menjadi bagian dari kenangannya bersama Caca, Vino, dan Gio. Ia menanti kedatangan Caca dengan gundah. Entah mengapa rasanya sangat gugup bahkan kedua kakinya bergerak tanpa henti. Namun wajahnya tetap datar, tak menggambarkan perasaannya yang sebenarnya.
“Permisi…”
Suara itu, suara yang pernah mengisi hari-harinya dahulu. Suara dari seseorang yang sedang ia nantikan kedatangannya. Akhirya, ia bisa mendengarnya lagi. Caca, ia ada di sana.
“Ca…”
Kemudian Alen terdiam, menatap lama wajah Caca yang tengah mencari posisi ternyaman baginya untuk duduk.
“Len… lo bohong…”
“Len? Apa kabar?” Caca dengan sengaja membuka pembicaraan, berniat memimpin agar ia bisa mengarahkan pembicaraan ini ke arah yang ia kehendaki. Lebih tepatnya untuk menghindari topik yang sensitif.
“Gue… ga sebaik yang terlihat. Tapi, itu ga penting. Lo apa kabar, Ca?”
“Gue pengen ngamuk sama lo, Len…”
“Kenapa ga penting? Jujur sama gue, keadaan samakabar lo gimana? Lo minta ketemu karena lo butuh gue kan? Sekarang gue mau menuhin peran gue. Selagi dalam batas wajar, gue ga apa-apa, Len.”
Alen ingin menjawab, namun seketika suaranya tertahan sebab ia melihat seseorang tengah menatapnya tajam. Mengapa ia baru sadar kalau orang itu ada di sana? Ataukah memang orang itu baru saja duduk?
Tapi dari tatapnya saja, jelas bisa dilihat bahwa dari awal Caca mendudukkan dirinya, ia telah berada di sana.
Seseorang itu seolah berkata, “Jangan macam-macam”. Jujur saja, jika situasinya seperti ini Alen tak akan mampu berkata apapun. Sebab ia merasa seperti seorang tahanan yang tengah dikunjungi tamu.
Caca yang sadar arah pandang Alen pun mengarahkan pandangannya ke objek yang dilihat Alen.
Seketika kedua pupil Caca membesar. Ia tak menyangka bahwa orang itu akan berada di sana.
“Len, bentar ya.”
“Oke…” Alen menunduk dengan perlahan.
“Gio? Kamu kenapa di sini?”
“Mau jaga kamu.”
“Kamu bilang kamu ga apa-apa?”
“Tadinya… sampai aku lihat cara dia natap kamu…” Nada suara Gio mulai merendah. Ia terlihat berbeda. Ada sedikit percikan api yang mengundang amarahnya meluap.
“Caranya natap aku?”
“Ca… dia masih lihat kamu dengan cara yang sama kaya terakhir kali dia lihat kamu di sini dulu…”
“Maksudnya gimana?” tanya Caca tak mengerti.
“Aku laki-laki dan paham sama cara dia lihat kamu. Dan cara dia lihat kamu itu, sama kaya aku lihat kamu, sayang…”
“Len, lo bohong sama gue. Apa yang lo bilang sama gue di chat waktu itu, itu semua cuma cara lo supaya lo bisa ketemu sama cewe gue kan?”
“Ca… kita pulang, ya? Maaf, aku salah. Aku pikir aku bisa biasa aja. Tapi nyatanya engga. Maaf…” Gio menggenggam tangan Caca.
Alen dari tempatnya duduk memandang kedua insan yang terlihat tengah berbincang itu. Perasaannya tidak enak. Sesuatu telah terjadi.
“Hei, Gio, jangan minta maaf… Aku yang harusnya bisa ngerti sama perasaan kamu. Maaf aku ga mentingin perasaan kamu.”
“Tapi Gio, aku udah bilang iya ke Alen, seengganya aku harus selesaikan dengan cara yang baik. Kasih aku waktu sebentar ya? Dan aku mau minta tolong juga, supaya kamu nunggunya jangan di sini supaya Alen juga nyaman ngobrol dan waktu yang kepake bentar doang. Maaf aku harus minta kaya gini, tapi aku rasa ini yang terbaik buat sekarang.”
Gio menghela nafas dan akhirnya mengangguk. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dan membiarkan gadisnya ruang untuk berbicara dengan Alen.
“Sorry ya. Tadi ada perlu sama cowo gue,” Caca menekankan dua kata terakhir yang membuat Alen tersenyum kecut.
“Ga apa-apa, gue maklum,” balas Alen seadanya.
Setelahnya hanya hening yang melingkupi mereka berdua. Kata-kata yang sebelumnya telah disusun dengan sempurna oleh Alen hilang begitu saja seolah ia baru saja mengalami hilang ingatan. Begitu pula dengan Caca, ia hanya diam sambil menatap jemarinya.
“Ca…”
Caca mendongak dan menatap Alen. Ia menduga-duga apa yang akan keluar dari bibir Alen. Alen tersenyum singkat sebelum ia kembali lanjut berbicara.
“Ca, gue ga nemu orang yang bisa gue jadiin rumah. Gue ga tau gue harus apa. Tapi gue tau kalau gue harus balik ke lo buat bikin gue merasa kalo gue punya rumah buat pulang.”
Bahu Alen sedikit bergetar. Terlihat ia tengah menahan gejolak rasa sedih yang selama ini telah ia tolak keberadaannya.
“Len…”
Karena Alen sendiri pun sebenarnya tidak tau…
“Ca, gue boleh egois ga sekali aja? Gue mau sama lo, Ca. Gue ga sanggup kalo harus kaya gini terus…”
…bahwa presensi Caca di hadapannya,
“Len, lo ga boleh — ”
bukan hanya kekuatan baginya…
“Gue udah putus asa banget Ca… gue beneran udah ga tau lagi harus apa. Gue cuma mau lo, Ca.”
…tapi juga sebuah hal yang membuatnya merasakan hal lain,
“ALEN! DENGERIN GUE!”
yaitu rasa sakit, pedih, dan sedih secara bersamaan.
Caca adalah kekuatan sekaligus kelemahan Alen.
Alen tersentak, begitu juga dengan pelanggan lain yang berada di sana. Alen sendiri bahkan tak menyangka kalau dirinya akan dibentak seperti itu. Namun, bagi Caca, itu adalah satu-satunya cara agar Alen sadar bahwa ia sudah kelewat batas.
“Len… gue bakal anggap semua omongan lo tadi itu ga ada. Gue udah bilang kalo lo ga boleh ngelewatin batas. Lo tau kan gue ga mau dan ga akan mau? Gue ga mau lagi nerima lo, sebagai apapun, Len. Gue pikir lo udah berubah. Ternyata perginya lo waktu itu ga mengubah apapun. Memang benar ya, sekalinya lo kaya gitu, lo bakal tetap ngelakuin hal itu. Lo jahat, Len. Lo ga mikirin perasaan gue yang pernah lo mainin kaya gitu dan sekarang dengan ga ada mukanya lo bilang lo pengen balik ke gue? Sorry, gue ga mau. Len, kalau tadinya lo hanya mau minta gue jadi telinga lo buat semua cerita lo, mungkin gue masih bisa. Tapi ternyata engga. Jadi, karena lo juga udah ingkar sama apa yang lo bilang, gue pergi. Kali ini gue benar-benar ga mau lagi lihat muka lo. Sampai kapan pun.”
Caca beranjak pergi dari sana, menghampiri kekasihnya yang tanpa basa-basi langsung memeluknya. Gio paham bahwa gadisnya sedang tak ingin ditanyai. Maka, pelukan adalah hal yang bisa menenangkannya saat ini.
Di sini lain, Alen hanya diam. Kemudian senyum tipis terlukis di wajahnya. Semakin lama senyum itu kian lebar dan berubah menjadi tawa yang bagi siapa pun yang mendengarnya akan merasa kasihan. Ya, tawa itu meyiratkan luka mendalam. Karena untuk ke sekian kalinya, ia membuat kesalahan yang membuat dirinya ditinggal.
“Hah… gue kayanya emang ga pernah dapat akhir yang bahagia. Kejam atau emang gue yang ga tau caranya cari bahagia buat hilangin rasa sepi gue?”
©writhinkspace, 2022