Safe with Me

DEE
3 min readMay 8, 2023

--

Sudah sekitar 23 menit Lavien mendudukkan diri di depan pintu apartemen kekasihnya. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa pintu itu akan dibukakan oleh sang empunya.

“Sayang… Let me in, please… Aku tau kamu pasti bisa sendiri. Tapi biarin aku lihat kondisi kamu… sebentar aja…”

Layaknya memiliki tenaga yang tak terhingga jumlahnya, begitulah bibir Lavien berucap. Ia mengulang-ulang kalimat itu, mencoba menggerakkan hati Shelby.

“Sayang… Let me — “

Ceklek

Jika Lavien tidak menahan tubuhnya, mungkin ia akan tumbang ke belakang sebab ia menyenderkan punggung gagahnya di sana.

Lelaki itu dengan sigap berdiri dan netranya kini melihat sesosok perempuan dengan rambut yang sudah sangat berantakan. Mata sembabnya tertutupi oleh rambut. Tapi, jejak air matanya masih terlihat jelas di pipi. Tubuh perempuan itu terlihat lemah dan sepertinya sebentar lagi akan —

“Sayang!” Lelaki itu dengan cekatan menangkap tubuh Shelby yang ambruk ke hadapannya. Ia memeluk wanitanya. Dingin. Itu yang Lavien rasakan.

How long have you been crying, Sayang?”

Ibu jari sang adam menyapu lembut kantung mata sembab milik puannya. Hatinya sangat sakit. Melihat kondisi Shelby yang hancur seperti ini mengingatkannya pada memori lama. Ya, kejadian yang juga pernah membuat Shelby ada dalam kondisi seperti sekarang ini. Hancur, tak berbentuk.

Dua belas menit berlalu dan Shelby perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ditangkap netranya adalah sosok lelakinya yang masih setia menggenggam tangan kanannya. Sementara yang menggenggam tengah tertidur pulas.

Pantas aja gue tenang, ternyata dia dari tadi pegang tangan gue…

Shelby menarik tangannya perlahan, melepas genggaman tangan Lavien. Niatnya tidak ingin mengusik tapi ternyata Lavien terbangun dari tidur lelapnya.

“Sayang, how do you feel? Ada yang sakit? Atau you want to tell me something? Anything… please?”

“Vin, I’m fine. Thank you for coming. You safe me…

Thank God. I love you, Shel.”

Can I get a hug?”

Sure, I’ll give you the big one.”

Shelby menghamburkan dirinya ke dalam dekapan hangat Lavien. Lengan kekar Lavien pun mengunci tubuh wanitanya, menyalurkan seluruh kehangatan yang ia miliki pada tubuh dingin kekasihnya.

Wanitanya tidak boleh kedinginan. Tidak boleh pula merasakan sakit. Kalau boleh seluruh rasa negatif yang Shelby rasakan, berpindah pada Lavien. Namun, tak ada cara untuk melakukannya. Jadi yang Lavien bisa hanyalah meyakinkan Shelby bahwa seberat dan sesakit pun jalan yang Shelby tapaki, Lavien akan selalu ada untuknya, melewati derita itu bersama.

“Vin, maaf ya. Maaf karena aku selalu bikin kamu khawatir. Maaf karena aku selalu ngelakuin semuanya sendiri. Aku gak minta kamu membenarkan apa yang aku lakuin dan gak minta kamu ngerti juga. Tapi aku hanya mau kamu tau, kalau aku gak mau kamu dan anak-anak sakit karena ayah aku atau pun orang lain. Aku gak mau kehilangan sosok siapapun lagi karena ulah ayah atau orang jahat lain yang mau ganggu bahagia kamu… Aku lebih milih buat hilangin diri sendiri banding harus lihat kalian nangis atau merasa sakit…”

“Hey, sayang. So do I. Aku gak mau lihat kamu kayak gini. Makanya aku selalu bilang sama kamu, kalau aku selalu ada buat kamu, Sayang. Andalkan aku. Kalau kamu takut aku merasa sakit, gak apa-apa. Selama kamu ada di samping aku, rasa sakit itu gak bakal terasa apa-apa. Kita lewatin sedihnya, senangnya, sakitnya, hancurnya bareng ya, Sayang.”

Tak ada tanggapan apapu dari bibir Shelby. Perempuan itu hanya kembali terisak di dalam dekapan Lavien. Jika kata tak bisa mewakili perasaannya, maka menangis adalah alternatifnya. Ia harap, Lavien bisa mengerti bahwa tangisnya kali ini bukan tangisan akibat rasa sakit yang ia rasa. Namun tangisan yang mewakili perasaan lega, bahagia, dan bersyukur akan kehadiran lelakinya.

Jika boleh, izinkan Shelby merasakan perasaan aman seperti ini sampai nafasnya berhenti. Ya, jika boleh…

--

--