It Hurts Me Deeper

DEE
2 min readApr 8, 2023

--

Ruangan dengan pencahayaan minim menjadi teman pemuda itu dalam melakukan rutinitasnya. Rutinitas yang ia lakukan di sore hari sepulangnya ia dari kantor adalah memeriksa beberapa bukti berupa dokumen dan foto atas kasus laki-laki yang ia sebut papa.

Bukti yang selalu ia baca berulang-ulang dengan harapan ia menemukan sesuatu di sana. Namun, nyatanya dokumen itu tetaplah tak memberi perubahan apapun.

“Ini jaringan gue butut banget perasaan…”

Sudah hampir 10 menit ia menunggu, tetapi dokumen yang disematkan pada email itu tak kunjung terbuka. Rasa kesalnya pun memuncak.

“Ah anjing! Bisa-bisanya waktu gue lagi butuh malah butut banget!”

Tepat setelah ia mengeluarkan makian itu dari bibirnya, dokumen itu sudah terlihat jelas. Senyum pun mengiringi kegiatannya.

Terdapat dua dokumen dan sebuah foto di sana. Foto itu ia abaikan sebab saat sekilas ia melihatnya, ia merasa foto itu tidak terlalu berguna.

Dengan cepat lelaki itu membaca keseluruhan isi dokumen. Seperti biasa ia tidak mendapatkan apapun di sana. Lalu ia menekan tombol silang untuk menutup laman dokumen tersebut dan kembali ke kotak masuk email. Ia kembali membaca kalimat pembuka email yang ia terima.

“Gue udah ke rumah sakit tempat bokap lo dulu diautopsi. Dan ini laporan autopsi aslinya. Gue sempet nanya kenapa laporannya dipalsuin, tapi ga ada yang tau soalnya kepala rumah sakitnya udah ganti. Kalo ada info lagi gue kabarin. Sorry gue sempet gertak lo, gue lagi butuh duit soalnya. Thanks.” Begitu tertulis di sana.

“Kenapa gue baru sadar kalo ternyata dia ngasih tau soal laporan autopsi yang palsu itu?” Lelaki itu merutuki dirinya sendiri.

Tepat setelahnya, ia mengambil sebuah buku berukuran A5 dengan sampul berwarna coklat. Tak lupa ia juga mengambil sebuah alat tulis dan menuliskan sesuatu di sana.

“Laporan autopsi palsu.”

“Cari kepala rumah sakit Yayasan Sejahtera tahun 2017.”

Ujung pulpen itu pun berhenti menari di atas kertas. Sang pengguna tertegun. Tiba-tiba ia merasa sesak kala netranya membaca kalimat “Laporan autopsi palsu”. Hatinya panas dan terasa diiris pisau berkali-kali. Ia bertanya-tanya. Bagaimana bisa ada orang yang melakukan kejahatan sekeji ini? Memalsukan laporan autopsi yang bisa saja jadi penentu hidup dan mati seseorang?

Lelaki itu menggeram. Ia meremat pulpen itu hingga patah. Karena emosinya tersulut, ia tak merasakan tetes demi tetes darah sudah membuat tangannya menjadi merah akibat tusukan pecahan pulpen tersebut.

“Awas lo semua yang udah bikin papa gue kaya binatang!”

--

--

No responses yet